Latest Post

Hubungan Istimewa dalam Perpajakan PMK Terbaru: Rincian Pelaksanaan PKKU dalam Transaksi Afiliasi

Pajak penghasilan merupakan tanggung jawab untuk membayar pajak atas penghasilan yang diterima oleh individu atau badan usaha. Objek Pajak PPh mencakup berbagai jenis penghasilan seperti gaji, honorarium, dividen, bunga, sewa, royalti, dan lain sebagainya. Pemerintah telah menetapkan aturan mengenai objek pajak penghasilan agar semua warga negara dapat memenuhi kewajiban pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Oleh karena itu, diharapkan setiap warga negara melaporkan penghasilannya dan membayar pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Penjelasan mengenai Objek Pajak PPh

Seperti yang telah terjelaskan sebelumnya, objek dalam pajak penghasilan (PPh) merujuk pada segala hal yang menjadi target atau sasaran dalam pengenaan pajak. Objek ini mencakup setiap tambahan kemampuan ekonomis yang wajib pajak terima atau dapatkan , yang nantinya akan berguna untuk menambah kekayaan. Kemampuan ekonomis ini dapat berasal dari dalam negeri maupun luar negeri.

Secara umum, di sini objek pajak penghasilan terkelompokkan menjadi tiga kategori yang akan menentukan jenis-jenis PPh yang harus terpenuhi oleh wajib pajak, yakni:

A. Rincian Objek Pajak Penghasilan:

Dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan, objek PPh menjelaskan secara terperinci sebagai berikut:

1. Segala bentuk penggantian atau imbalan yang ada sebagai hasil dari pekerjaan atau jasa yang telah berlaku, seperti gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang industri, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali jika teratur sebaliknya dalam undang-undang ini.

2. Pemberian hadiah dari undian, pekerjaan, atau kegiatan tertentu, serta penghargaan yang ada.

3. Pendapatan yang diperoleh dari kegiatan usaha.

4. Keuntungan yang diperoleh dari penjualan atau pengalihan harta milik, termasuk:

  • Manfaat dari pengalihan aset kepada perusahaan, kemitraan, dan entitas lain sebagai ganti saham atau modal yang tersetor
  • Manfaat dari pengalihan aset kepada pemegang saham, mitra, atau anggota yang diperoleh oleh perusahaan, kemitraan, dan entitas lainnya
  • Manfaat dari likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan bentuk apapun
  • Manfaat dari pengalihan aset berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan entitas keagamaan, entitas pendidikan, entitas sosial termasuk industri, koperasi, atau individu yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut oleh Peraturan Menteri Keuangan, selama tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang terkait
  • Manfaat dari penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, partisipasi dalam pembiayaan, atau kepemilikan saham dalam perusahaan pertambangan.

5. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah terkena sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak

6. Bunga termasuk premi, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang

7. Dividen, dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi

8. Royalti atau imbalan atas penggunaan hak

9. Sewa dan penghasilan lain yang terkait dengan penggunaan harta

10. Penerimaan atau perolehan pembayaran secara berkala

11. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang tercantum pada Peraturan Pemerintah

12. Keuntungan selisih kurs mata uang asing

13. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva

14. Premi asuransi

15. Iuran yang diterima atau diperoleh oleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas

16. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak

17. Penghasilan dari usaha berbasis industri

18., Imbalan bunga sebagaimana yang terdapat dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan

19. Surplus Bank Indonesia.

B. Jenis Pendapatan yang Termasuk dalam PPh Final

Sementara itu, terdapat beberapa jenis penghasilan yang tunduk pada pajak penghasilan final, yaitu:

  1. Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, serta bunga simpanan yang terbayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi.
  2. Penghasilan berupa hadiah dari undian.
  3. Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi industri yang berdagang di bursa, serta transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang perusahaan modal ventura terima.
  4. Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan.
  5. Penghasilan tertentu lainnya yang teratur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

C. Pajak Penghasilan PPh Pasal 23 memiliki Beberapa Jenis

PPh Pasal 23 adalah pajak penghasilan yang terdapat pada modal, penyerahan jasa, atau pemberian hadiah dan penghargaan, kecuali jika sudah terpotong PPh Pasal 21.

D. Pajak Penghasilan Jenis PPh Pasal 4 ayat (2) atau PPh Final

PPh Pasal 4 ayat 2 atau yang juga terkenal sebagai PPh Final adalah pajak penghasilan yang terdapat pada beberapa jenis penghasilan yang ada dan pemotongan pajaknya bersifat final serta tidak dapat terkreditkan dengan pajak penghasilan yang harus terbayarkan. Dalam hal ini, istilah ‘Final’ mengacu pada pemotongan pajak yang hanya berlaku sekali dalam satu periode pajak.

1. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 4 ayat (2)/PPh Final

Objek PPh Pasal 4 ayat (2) atau PPh Final ini terdapat pada jenis-jenis tertentu dari penghasilan atau pendapatan, yaitu:

  1. Penghasilan berupa bunga dari deposito dan jenis-jenis tabungan lainnya, serta diskonto sertifikat Bank Indonesia.
  2. Penghasilan berupa bunga dari obligasi swasta dan obligasi negara (SUN/Surat Utang Negara).
  3. Penghasilan berupa bunga dari tabungan yang terbayarkan oleh koperasi kepada anggota masing-masing.
  4. Penghasilan berupa hadiah berupa lotre/undian.
  5. Penghasilan dari transaksi saham/dividen dan surat berharga lainnya.
  6. Penghasilan dari transaksi industri perdagangan di bursa.
  7. Pendapatan yang diperoleh dari penjualan saham atau transfer kepemilikan modal pada perusahaan mitra yang diterima oleh perusahaan modal ventura
  8. Pendapatan yang diperoleh dari transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
  9. Pendapatan yang diperoleh dari usaha jasa konstruksi
  10. Pendapatan yang diperoleh dari usaha real estate
  11. Pendapatan yang diperoleh dari sewa tanah dan/atau bangunan
  12. Pendapatan dari sumber lain yang sudah ada atau sesuai dengan Peraturan Pemerintah.

2. Individu yang menerima Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2)/Pajak Penghasilan Final

Jenis PPh Pasal 4 ayat (2) atau PPh Final ini memberlakukan kepada wajib pajak badan dan wajib pajak pribadi untuk beberapa jenis penghasilan yang mereka peroleh, dan pemotongan pajaknya bersifat final.

3. Pihak yang melaksanakan pemotongan PPh 4 ayat (2)/PPh Final

Pelaksanaan pemotongan pajak jenis PPh Pasal 4 ayat (2) atau PPh Final berlaku bagi pihak yang memberikan penghasilan terkait pembayaran untuk objek tertentu.

Pihak yang bertanggung jawab untuk melakukan pemotongan ini terdiri dari badan usaha yang terpilih sebagai pemotong PPh Pasal 4 ayat (2) dan individu yang merupakan pemotong PPh Pasal 4 ayat (2) tanpa pemilihan, termasuk:

1. Wajib Pajak Badan

Sebagai pemungut, wajib pajak badan ini memiliki kewajiban untuk memotong jenis PPh Pasal 4 ayat (2). Beberapa pihak yang terpilih untuk melakukan pemotongan ini antara lain:

  1. Penerbit obligasi atau kustodian yang bertindak sebagai agen pembayaran.
  2. Perusahaan efek, dealer, atau bank yang berperan sebagai pedagang perantara dan/atau pembeli.
  3. Koperasi yang membayar bunga simpanan kepada anggota koperasi orang pribadi.
  4. Penyelenggara undian.
  5. Pihak yang membayar dividen atau pihak lain yang terpilih sebagai pembayar dividen.
  6. Pengusaha jasa pada saat pembayaran, jika pengguna jasa tersebut merupakan pemotong pajak.

Dalam menjalankan tugasnya, wajib pajak badan ini harus memastikan bahwa pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) melakukan dengan tepat dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Hal ini bertujuan untuk memastikan kepatuhan terhadap kewajiban perpajakan dan menjaga keadilan dalam sistem perpajakan.

2. Wajib Pajak Orang Pribadi

Sebagai pemungut, wajib pajak orang pribadi tidak memiliki kewajiban untuk memotong PPh Pasal 4 ayat (2), antara lain:

  • Penyedia jasa yang harus menyetor sendiri pajaknya, jika pengguna jasa bukanlah pemotong pajak.
  • Bendaharawan atau pejabat yang melakukan pembayaran atau pejabat yang menyetujui tukar menukar untuk objek pajak pengalihan hak atas tanah/bangunan.

Wajib pajak orang pribadi yang terpilih sebagai pemotong untuk jenis PPh Pasal 4 ayat (2) adalah:

  • Akuntan, arsitek, notaris, PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) kecuali jika PPAT tersebut adalah camat, pengacara, dan konsultan yang melakukan pekerjaan bebas.
  • Orang pribadi yang menjalankan usaha dengan pembukuan yang terdaftar sebagai wajib pajak dalam negeri.

Pemotongan PPh 4 Ayat (2) memiliki alur

Pajak yang terpotong, terpungut oleh pihak pemberi penghasilan atau terbayar sendiri oleh pihak penerima penghasilan, penghitungan pajaknya telah selesai dan tidak dapat terhitung kembali dalam penghitungan PPh pada SPT Tahunan.

Namun, jika Wajib Pajak (WP) menerima penghasilan yang merupakan objek pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) dan pemberi penghasilan (pemberi kerja) juga merupakan pemotong PPh Pasal 4 ayat (2), maka atas penghasilan yang ada akan terpotong PPh Pasal 4 ayat (2) oleh pihak pemotong tersebut.

Jika WP menerima penghasilan yang merupakan objek jenis PPh Pasal 4 ayat (2) dan pihak pemberi penghasilan adalah orang pribadi (bukan pemotong), maka WP tersebut wajib menyetor sendiri PPh Pasal 4 ayat (2) tersebut.

Berapa jumlah yang harus terbayarkan untuk tarif pajak penghasilan?

Setiap jenis PPh memiliki tarif pajak yang berbeda sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan. Berikut adalah tarif pajak yang berlaku untuk setiap jenis PPh:

A. Tarif PPh 21

Tarif PPh Pasal 21 berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2015, berlaku bagi individu yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan juga bagi mereka yang tidak memiliki NPWP. Ialah:

1. Tarif PPh 21 memiliki NPWP

Tarif PPh 21 adalah tarif pajak penghasilan yang berdampak kepada wajib pajak pribadi yang memiliki NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak). Berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh No. 36/2008, tarif PPh 21 menggunakan tarif progresif. Tarif ini juga sama dengan tarif PPh Pasal 21 dengan ketentuan sebagai berikut:

  1. Tarif sebesar 5% berdampak untuk penghasilan sampai dengan Rp50.000.000 per tahun.
  2. Tarif sebesar 15% berdampak untuk penghasilan antara Rp50.000.000 hingga Rp250.000.000 per tahun.
  3. Tarif sebesar 25% berdampak untuk penghasilan antara Rp250.000.000 hingga Rp500.000.000 per tahun.
  4. Tarif sebesar 30% berdampak untuk penghasilan antara Rp500.000.000 hingga Rp5.000.000.000 per tahun.
  5. Tarif sebesar 35% berdampak untuk penghasilan di atas Rp5.000.000.000 per tahun (sesuai aturan terbaru dalam UU PPh).

Namun, bagi wajib pajak yang tidak memiliki NPWP, tarif yang terkena akan 20% lebih tinggi daripada dengan mereka yang memiliki NPWP. Hal ini bertujuan untuk mendorong wajib pajak agar memiliki NPWP dan mematuhi kewajiban perpajakan yang berlaku.

2. Tarif PPh 21 tanpa NPWP

Bagi wajib pajak yang menerima penghasilan tetapi tidak memiliki NPWP, maka tarif pajak penghasilannya akan mendapatkan 20% lebih tinggi daripada tarif yang ada bagi mereka yang memiliki NPWP, yakni:

  • Jumlah PPh Pasal 21 yang harus terpotong adalah 20% lebih tinggi dari jumlah PPh Pasal 21 yang seharusnya terpotong jika wajib pajak tersebut memiliki NPWP.
  • Ketentuan di atas berlaku untuk pemotongan PPh Pasal 21 yang bersifat tidak final.
  • Jika seorang pegawai tetap atau penerima pensiun berkala yang telah terpotong PPh Pasal 21 dengan tarif yang lebih tinggi mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP dalam tahun kalender yang bersangkutan sebelum pemotongan PPh Pasal 21 untuk Masa Pajak Desember, selisih pengenaan tarif sebesar 20% lebih tinggi tersebut akan memperhitungkan untuk bulan-bulan selanjutnya setelah ia memiliki NPWP.

3.Tarif PPh 23

Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai tarif pajak penghasilan pasal 23, silakan merujuk pada Tarif PPh Pasal 23 Terbaru.

4. Tarif PPh Final Pasal 4 Ayat (2)

PPh Final Pasal 4 ayat (2) ini berlaku untuk berbagai jenis penghasilan, transaksi, atau hal lain yang telah ada dalam objek-objek PPh 4 ayat (2) ini, termasuk di antaranya:

  1. Tarif sebesar 20% berdampak pada penghasilan dari deposito, tabungan, dan diskonto SBI (Surat Berharga Indonesia).
  2. Tarif sebesar 5%-15% berdampak pada penghasilan dari bunga obligasi.
  3. Tarif sebesar 0-10% berdampak pada penghasilan dari simpanan koperasi.
  4. Tarif sebesar 0,1% berdampak pada penghasilan dari penjualan saham.

Contoh Penghitungan dan Implementasi Tarif Pajak Penghasilan

A. Contoh Perhitungan dan Rumus Pajak Penghasilan 21

Karena pajak penghasilan pasal 21 merupakan pajak progresif, berikut ini adalah contoh perhitungannya:

1. Memiliki NPWP

Pak Kelik, seorang pekerja lepas, memiliki penghasilan kena pajak sebesar Rp95.000.000 dan beliau telah memiliki NPWP.

Pajak Penghasilan yang harus terpotong bagi wajib pajak yang memiliki NPWP adalah sebagai berikut:

2. Tidak Memiliki NPWP

Pak Kelik, seorang pekerja lepas, memiliki penghasilan kena pajak sebesar Rp95.000.000, namun beliau tidak memiliki memiliki NPWP.

Pajak Penghasilan yang harus dipotong jika wajib pajak tidak memiliki NPWP adalah sebagai berikut:

B. Contoh dan Rumus Perhitungan Pajak Penghasilan Final Pasal 4 ayat (2)

Misalkan, Pak Kelik menempatkan uangnya di Bank AAA dalam bentuk deposito senilai Rp500.000.000 dengan tingkat bunga 8% per tahun.

Sebagai hasil dari deposito tersebut, Pak Kelik akan menerima bunga sebesar Rp40.000.000 setiap bulannya.

Jadi, jumlah PPh Pasal 4 ayat (2) yang dipotong oleh Bank AAA adalah sebagai berikut:

Mohon untuk membuat Bukti Potong PPh dan melaporkan SPT Masa PPh Wajib melalui platform e-Bupot Unifikasi

Dari beberapa jenis PPh di atas, terdapat beberapa PPh yang memerlukan pembuatan bukti potong dan pelaporan SPT Masa PPh melalui e-Bupot Unifikasi, yakni:

  • Pajak Penghasilan Pasal 23
  • Pajak Penghasilan Pasal 26
  • Pajak Penghasilan Pasal 22
  • Pajak Penghasilan Pasal 15
  • Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *